Latar belakang Munculnya Segitiga Semantik
oleh
Ilham Nur Kholiq
Pada
awal mulanya, kajian semantik ada pembahasan yang mengenai semantik
tradisional. Dalam pembahasan itu timbullah persoalan mengenai hubungan
antara kata-kata dan “benda-benda” yang “ditandai” (signified) atau
diacunya. Para ahli filsafat Yunani pada zaman Scorates, dan sesudah
Plato, memaparkan persoalan ini dengan istilah-istilah yang umumnya
telah dipakai sejak waktu itu. Bagi mereka, hubungan semantis antara
kata-kata dan “benda-benda” adalah hubungan “penamaan” dan timbullah
persoalan selanjutnya mengenai apakah “nama-nama” yang kita berikan pada
“benda-benda” itu alamiah atau konvensional asal mulanya.
Selama
perkembangan tata bahasa tradisional, menjadi biasa membedakan antara
makna kata dengan benda, atau benda-benda, yang dinamai dengannnya.
Seperti yang dirumuskan oleh para ahli tata bahasa Abad pertengahan:
bentuk kata (bagian vox dictio) menandai benda karena konsep
yang berkaitan dengan bentuk kata dalam pikiran penutur-penutur bahasa
dan konsep itu, yang dipandang dari sudut pandang ini adalah , makna (significatio) kata itu.[1]Tiga Aspek dalam Segitiga Semantik
Hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) dikenal dengan teori ‘semantic tringle’ (Mutsallats Al-Ma’na), yaitu segita bermakna yang menghubungkan antara 3 aspek dasar, yakni:
- Simbol/kata/signifiant/penanda (Dal/Alamah) yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan, isyarat dan sebagainya, seperti: kata Idalam (pensil), kitab (buku) dan lain-lain.
- Konsep/benak/pikiran/mind (syu’ur/fikrah) yang ada di dalam diri manusia ketika memahami simbol/kata.
- Acuan/benda/sesuatu/referen/signify/pertanda (madlul/musyar ilaih) yang ditunjuk dari simbol/kata tersebut.
Dalam bahasan semiotika, tanda (sign) terdiri dari dua unsur yang tidak bisa dipisahkan, yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda adalah aspek material dari bahasa, sedangkan petanda adalah makna (konsep) yang ada pada pikiran (mind). [2]
[1] John Lyons, Pengantar Teori Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 397.
[2] H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab..,hlm. 25.
Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bunyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Makna kata buku adalah
konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata
buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan
konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan
referen atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan
garis putus-putus) karena harus melalui konsep.
Menurut teori ‘semantic tringle’
di atas, hubungan yang terjalin antara sebuah bentuk ‘kata/simbol’
dengan ‘acuan/benda/hal/peristiwa’ di luar bahasa tidak bersifat
langsung (muqattha’ah), tetapi ada media yang terletak di
antara keduanya, yaitu benak/pikiran/konsep. Kata hanya merupakan
lambang (simbol) yang berfungsi menghubungkan konsep/pikiran dengan
acuan/ benda.[1]
Dalam
reference dengan simbol menggunakan garis putus-putus atau tidak
langsung, karena simbol adalah masalah dalam bahasa. reference adalah
masalah luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer. Sedangkankan
antara simbol dan konsep bersifat langsung, karena diantara keduanya
sama-sama di dalam bahasa [2]
Tidak
semua kata/simbol memiliki acuan/benda. Misalnya, kata ‘walaupun’,
‘aduh’, sekalipun bermakna tetapi tidak merujuk kepada sesuatu, tidak
ada referenya.[3]
Berbeda dengan kata ‘buku’ yang memiliki referen sebab ia menunjuk pada
sesuatu (sebuah benda yang terbuat dari kertas, tempat tulisan,mudah
sobek, mudah basah, dan lain sebagainya.
Mengenai
acuan atau yang lebih kita kenal dengan reference dalam segitiga
semantik, mempunyai arti yang agak berbeda . referensi yang tadi
dibicarakan adalah referensi “ekstralingual”, karena referen itu adalah
suatu diluar bahasa misalnya roti yang anda makan. Tetapi istilah
“referensi” dapat membawa juga arti perujukan di dalam tuturan, yaitu
arti “intralingual”. Misalnya, dalam klausa roti yang kita beli kemarin, saya sudah memakannya, maka sufiks objek-nya
bereferensi ke roti yang ditemukan sebagai kata pertama tuturan ini.
Perujukan “intralingual” seperti ini disebut “anaforis atau “kataforis” .
perujuakan itu adalah “anaforis” dalam hal perujukan kembali pada teks
yang mendahului, seperti-nya dalam contoh tadi merujuk kembali pada roti
. ataupun perujukan itu adalah “kataforis” dalam hal perujukan ke teks
yang mengikuti, seperti anteseden merujuk pada klausa relatif: misalnya
kata orang dalam klausa orang yang mendaftarkan diri harus membawa kartu penduduk
. biasanya pokok referensi intralingual (disebut juga “endoforis”,
entah anaforis entah kataforis ) lebih-lebih menyangkut semantik
gramatikal, bukan semantik leksikal (atau hanya untuk sebagain saja).
Sebaliknya, referensi ekstralingual (disebut juga “ektoforis”)
lebih-lebih menyangkut semantik leksikal bukan semantik gramatikal (atau
hanya untuk sebagian saja).[4]
[1] Ibid..,hlm. 25.
[2] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003, Cet Kedua), hlm. 287.
[3] H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, hlm. 26.
[4] J.W.M. Verhaar, Asas-Asas linguistik Umum.., hlm.390
0 komentar:
Post a Comment