Home » » Latar belakang Munculnya Segitiga Semantik dan Tiga Aspek dalam Segitiga Semantik

Latar belakang Munculnya Segitiga Semantik dan Tiga Aspek dalam Segitiga Semantik

Unknown | 6:25 AM | 0 komentar




Latar belakang Munculnya Segitiga Semantik
oleh
Ilham Nur Kholiq
Pada awal mulanya, kajian semantik ada pembahasan yang mengenai semantik tradisional.  Dalam pembahasan itu timbullah persoalan mengenai hubungan antara kata-kata dan “benda-benda” yang “ditandai” (signified) atau diacunya.  Para ahli filsafat Yunani pada zaman Scorates, dan sesudah Plato, memaparkan persoalan ini dengan istilah-istilah yang umumnya telah dipakai sejak waktu itu. Bagi mereka, hubungan semantis antara kata-kata dan “benda-benda” adalah hubungan “penamaan”  dan timbullah persoalan selanjutnya mengenai apakah “nama-nama” yang kita berikan pada “benda-benda” itu alamiah atau konvensional asal mulanya.
Selama perkembangan tata bahasa tradisional, menjadi biasa membedakan antara makna kata dengan benda, atau benda-benda, yang dinamai dengannnya. Seperti yang dirumuskan oleh para ahli tata bahasa Abad pertengahan: bentuk kata (bagian vox dictio) menandai benda karena konsep yang berkaitan dengan bentuk kata dalam pikiran penutur-penutur bahasa dan konsep itu, yang dipandang dari sudut pandang ini adalah , makna (significatio) kata itu.[1]
Tiga Aspek dalam Segitiga Semantik
Hubungan antara lafal/bahasa (intra-lingual) dengan sesuatu yang ada di luar bahasa (ekstra-lingual) dikenal dengan teori ‘semantic tringle’ (Mutsallats Al-Ma’na), yaitu segita bermakna yang menghubungkan antara 3 aspek dasar, yakni:
  1. Simbol/kata/signifiant/penanda (Dal/Alamah) yang terdiri dari bunyi bahasa, tulisan, isyarat dan sebagainya, seperti: kata Idalam (pensil), kitab (buku) dan lain-lain.
  2. Konsep/benak/pikiran/mind (syu’ur/fikrah) yang ada di dalam diri manusia ketika memahami simbol/kata.
  3. Acuan/benda/sesuatu/referen/signify/pertanda (madlul/musyar ilaih) yang ditunjuk dari simbol/kata tersebut.
Dalam bahasan semiotika, tanda (sign) terdiri dari dua unsur yang tidak bisa dipisahkan, yaitu penanda (signifiant) dan petanda (signify). Penanda adalah aspek material dari bahasa, sedangkan petanda adalah makna (konsep) yang ada pada pikiran (mind). [2]
[1] John Lyons, Pengantar Teori Linguistik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), hlm. 397.
[2] H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab..,hlm. 25.
Sebuah kata, misalnya buku, terdiri atas unsur lambang bunyi yaitu [b-u-k-u] dan konsep atau citra mental benda-benda (objek) yang dinamakan buku. Makna kata buku adalah konsep buku yang tersimpan dalam otak kita dan dilambangkan dengan kata buku. Gambar di samping menunjukkan bahwa di antara lambang bahasa dan konsep terdapat hubungan langsung, sedangkan lambang bahasa dengan referen atau objeknya tidak berhubungan langsung (digambarkan dengan garis putus-putus) karena harus melalui konsep.
Menurut teori ‘semantic tringle’ di atas, hubungan yang terjalin antara sebuah bentuk ‘kata/simbol’ dengan ‘acuan/benda/hal/peristiwa’ di luar bahasa tidak bersifat langsung (muqattha’ah), tetapi ada media yang terletak di antara keduanya, yaitu benak/pikiran/konsep. Kata hanya merupakan lambang (simbol) yang berfungsi menghubungkan konsep/pikiran dengan acuan/ benda.[1]
Dalam reference dengan simbol menggunakan garis putus-putus atau tidak langsung, karena simbol adalah masalah dalam bahasa. reference adalah masalah luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer. Sedangkankan antara simbol dan konsep bersifat langsung, karena diantara keduanya sama-sama di dalam bahasa [2]
Tidak semua kata/simbol memiliki acuan/benda. Misalnya, kata ‘walaupun’, ‘aduh’, sekalipun bermakna tetapi tidak merujuk kepada sesuatu, tidak ada referenya.[3] Berbeda dengan kata ‘buku’ yang memiliki referen sebab ia menunjuk pada sesuatu (sebuah benda yang terbuat dari kertas, tempat tulisan,mudah sobek, mudah basah, dan lain sebagainya.
Mengenai acuan atau yang lebih kita kenal dengan reference dalam segitiga semantik, mempunyai arti yang agak berbeda . referensi yang tadi dibicarakan adalah referensi “ekstralingual”, karena referen itu adalah suatu diluar bahasa misalnya roti yang anda makan. Tetapi istilah “referensi” dapat membawa juga arti perujukan di dalam tuturan, yaitu arti “intralingual”. Misalnya, dalam klausa roti yang kita beli kemarin, saya sudah memakannya, maka  sufiks objek-nya bereferensi ke roti yang ditemukan sebagai kata pertama tuturan ini. Perujukan “intralingual” seperti ini disebut “anaforis atau “kataforis” . perujuakan itu adalah “anaforis” dalam hal perujukan kembali pada teks yang mendahului, seperti-nya dalam contoh tadi merujuk kembali pada roti . ataupun perujukan itu adalah “kataforis” dalam hal perujukan ke teks yang mengikuti, seperti anteseden merujuk pada klausa relatif: misalnya kata orang dalam klausa orang yang mendaftarkan diri harus membawa kartu penduduk . biasanya pokok referensi intralingual (disebut juga “endoforis”, entah anaforis entah kataforis ) lebih-lebih menyangkut semantik gramatikal, bukan semantik leksikal (atau hanya untuk sebagain saja). Sebaliknya, referensi ekstralingual (disebut juga “ektoforis”) lebih-lebih menyangkut semantik leksikal bukan semantik gramatikal (atau hanya untuk sebagian saja).[4]
[1] Ibid..,hlm. 25.
[2] Abdul Chaer, Linguistik Umum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003, Cet Kedua), hlm. 287.
[3] H.R. Taufiqurrochman, Leksikologi Bahasa Arab, hlm. 26.
[4] J.W.M. Verhaar, Asas-Asas linguistik Umum.., hlm.390
Share this article :

0 komentar:

Post a Comment